Minggu, 14 Februari 2010

CADAR DALAM PERSPEKTIF ULAMA


CADAR DALAM PERSPEKTIF ULAMA
Abdul Rohman El-Razhaly

A. Prolog

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur semoga senantiasa kita panjatkan kepada Sang Khalik Allah Swt.. Shalawat bermahkotakan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Nabi Muhammad Saw., Para Sahabatnya dan Pengikutnya. Dan semoga kita tetap menjadi pengikutnya hingga hari akhir nanti.

Akhir-akhir ini bentuk pakaian sering diperbincangkan orang. Bahkan ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bentuk dan mode pakaian adalah ukuran keimanan seseorang atau ciri khas dari suatu keompok tertentu. Pandangan ini mungkin saja ada benarnya walaupun tidak secara mutlak. Agama Islam mempunyai aturan tertentu dalam mengatur kode etik berpakaian, khususnya pakaian wanita yang cenderung lebih ketat peraturannya dibandingkan pakaian laki-laki yang terkesan lebih longgar akan peraturannya. Sehingga pembicaraan tentang pakaian wanitapun menjadi sangat luas dan sangat kompleks.

Seperti sedang hangatnya pembicaraan tentang cadar yang didalam bahasa Arab disebut niqob. Pembicaraan tentang cadar sangat hangat di Mesir, menyangkut pernyataan Imam Besar Al-Azhar Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi yang memerintahkan kepada para siswi untuk melepas cadar selama kunjungan mereka ke sekolah Al-Azhar . Dan bukan hanya itu, pada tahun 2009 salah satu Departemen Keagamaan Tertinggi di Mesir mengeluarkan perintah yang mengharuskan para pegawainya dari unsur perempuan untuk bebas dari cadar . Begitu juga apa yang terjadi di Kanada, pemerintah Kanada mengajukan proposal undang-undang berisi larangan seorang muslimah mencoblos dalam bilik suara pemilu, jika mengenakan cadar . Fenomena ini menimbulkan konflik antara pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri, maupun orang-orang yang mempunyai otoritas dalam suatu kelompok tersebut.

Melalui catatan kecil ini Penulis berusaha mengajak pembaca mengenal lebih dekat akan arti cadar dari segala aspek, walaupun pembicaraan ini sudah ada sejak zaman dahulu. Dan satu hal yang tidak dapat disangkal oleh siapapun yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut adalah masalah khilafiyah, dan masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan Ahli Fikih, Ahli Tafsir, maupun Ahli Hadits dari sejak zaman onta sampai toyota.

B. Kata-Kata Niqob (Cadar) di Dalam Al-Qur`an dan Hadits

1. Kata niqob di dalam Quran.
Tidak terdapat di dalam Quran kata-kata niqob yang mempunyai makna penutup, akan tetapi terdapat kata-kata yang diambil dari kata niqob yang menunjukkan makna lain, terdapat pada dua tempat di dalam Quran :

A. Firman Allah Swt. di dalam surat al-Kahfi ayat 97.
فما استطاعوا أن يظهروه وما اسنطاعوا له نقابا " "
“Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya“.

B. Firman Allah Swt. di dalam surat Qaaf ayat 36.
فنقبوا فى البلاد هل من محيص" "
“Maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat lari (dari kebinasaan)? ”

Adapun kata-kata yang mempunyai makna menutupi, kerudung, ataupun penutup wajah tidak ditemukan di dalam Quran .

2. Kata niqob di dalam Hadits.
Menelusuri kata niqob yang mempunyai makna penutup wajah di dalam buku-buku hadits terdapat pada enam tempat yaitu :
- Shahih Imam Bukhari terdapat di satu tempat.
- Sunan Abi Daud terdapat di satu tempat.
- Sunan Ibnu Majah terdapat di satu tempat.
- Musnad Imam Ahmad terdapat di tiga tempat.

Dan kebanyakan kata-kata tersebut mempunyai makna sekitar pelarangan memakai niqob pada wakt ihram .

C. Pengertian Niqob (Cadar)
Untuk mengenal lebih dalam lagi arti niqob, kita perlu mengerti arti niqob itu dari segi etimologi dan terminologi, sehingga kita bisa menghukumi niqob secara benar yang sesuai dengan kaidah bahasa.

1. Secara Etimologi.
Menurut Kamus Al-Ashri, niqob adalah kerudung atau jilbab . Menurut Ibnu Mandzur di dalam kitabnya Lisan Al-Arab, niqob adalah tudung wajah yang berada di atas pucuk hidung . Menurut Mufti Mesir Syaikh Ali Jum`ah, niqob adalah wanita yang memakai kain tutup muka .

2. Secara Terminologi.
Menurut Syaikh Islam Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, niqob adalah kerudung atau jilbab yang terdapat (menutupi) di atas hidung atau di bawah lekuk mata . Dan dikatakan juga bahwa niqob itu adalah kerudung atau jilbab yang terdapat di atas hidung atau dibawah lekuk mata yang menutupi seluruh wajahnya, kecuali mata untuk mengetahui jalan di depannya apabila ia keluar untuk suatu keperluan . Dan sebagian ulama ada yang tidak mendefinisikan niqob secara terminology, akan tetapi mengibaratkan bahwa niqob termasuk dalam bagian hijab . Dan definisi Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany lebih utama . Dan menurut Syaikh Ali Jumah, niqob adalah penutup, seorang wanita yang menutupi wajahnya dari manusia, dan tidak wajib baginya menutupi wajahnya dengan niqob, kedua telapak tangannya dengan niqob, atau sarung tangan dan sejenisnya .

Menurut hemat Penulis, bahwa perlu adanya pembedaan antara niqob dan hijab. Bahwa hijab adalah pentup yang bersifat umum, dan niqob adalah penutup untuk wajah wanita. Menurut bahasa “al-hijab” berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi atau menghalangi , dengan kata lain al-hijab adalah benda yang menutupi sesuatu. Namun menurut istilah, al-hijab adalah suatu tabir yang menutupi semua anggota badan wanita, kecuali wajah dan kedua telapak tangan dari penglihatan orang lain yang bukan mahramnya agar menghilangkan fitnah . Begitupun di dalam kitab Adillatu Al-hijab yang mengartikan al-hijab sebagai penutup yang menutupi badan wanita, tidak terlalu tipis dan tidak terlalu pula lembut kainnya . Oleh karena itu, hijab lebih bersifat umum dari pada niqob.

D. Hukum Niqab (Cadar)
Fenomena yang tidak pernah akan ada habisnya diperselisihkan oleh para ulama Islam seantero jagad raya ini. Adapun masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya yang didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga. Melalui catatan kecil ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu, dan berkenalan dengan dalil masing-masing. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini. Bukan mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar kedua pendapat ini. Agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak. Sehingga kita bisa lebih bijak lagi dalam bersikap dan berpendapat.

Kita sama-sama mengetahui bahwa tujuan berpakaian di dalam Islam adalah untuk menutup aurat, selain juga untuk keindahan. Pakaian yang menyimpang dari dua tujuan tersebut, berarti telah menyimpang ajaran Islam itu sendiri. Tetapi kalau kita teliti lebih lanjut, ternyata para ulama berselisih pendapat tentang batasan aurat perempuan yang harus di tutup dengan pakaian. Secara umum, pendapat ulama tersebut terbagi menjadi dua :

1. Kalangan yang Mewajibkan Cadar
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis yang bukan mahram. Mereka adalah pengikut Madzhab Hanbali, dan kebanyakan dari pengikut Madzhab Syafi`i . Dan Dzohir Madzhab Imam Ibn Hanbali mengatakan bahwa seluruh yang ada pada wanita adalah aurat bagi orang laki-laki lain bahkan sampai kukunya .

Dalil-dalil yang mereka kemukakan diantaranya ialah:
A. Penafsiran pada Firman Allah Swt. di surat Al-Ahzab: 59:

" ياأيها النبى قل لأزوجك وبناتك ونساءالمؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك أدنى ان يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما "
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.

Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Pendapat ini dikutip dari riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani, Al-Hasan Al-Bashri, Sa`id ibn Jubair, Qatadah dan lainnya , meskipun tidak ada kesepakatan di antara mereka tentang makna `jilbab` dan makna `menjulurkan`.

B. Penafsiran pada Firman Allah Swt di surat An-Nur ayat 31 :

"وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن الاما ظهر منها "
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. “

Menurut mereka dengan mengutip riwayat dari Ibnu Mas`ud, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan lain-lainnya yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Adapun yang dimaksud dengan yang biasa nampak darinya adalah bukan wajah akan tetapi selendang dan baju. Dan pada riwayat yang lain yang termasuk dari riwayat Ibnu Mas`ud sendiri, bahwa yang dimaksud dengan yang biasa nampak dari padanya bukanlah wajah, akan tetapi al-kuhl (celak) atau cincin, dan tidak boleh kepada orang yang bukan suaminya atau bukan mahramnya melihat ke suatu bagian dari pada wanita kecuali darurat atau mendesak seperti pengobatan dan lain-lain .

C. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim.

Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafahnya, yaitu larangan Rasulullah Saw. bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
عن ابن عمررضى الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم" لا تنقبت المر ءة المحرمة ولا تلبس القفازين"
“ Dari Ibnu Umar Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya dan memakai sarung tangan ”.

Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu memakai niqob dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai cadar, maka tidak mungkin beliau melarangnya saat berihram.

2. Kalangan yang Tidak Mewajibkan Cadar.
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil ataupun hujjah untuk menguatkan pendapatnya termasuk mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat. Mereka adalah para pengikut Madzhab Hanafi, Maliki, sebagian pengikut Madzhab Syafi`i dan Al-Auza`i, mereka berpendapat bahwa wanita boleh menampakkan wajah dan telapak tangannya . Batasan wajah menurut mereka adalah panjangnya dimulai dari tempat tumbuhnya rambut dikepala atas sampai dagu bawah, dan lebarnya adalah antara kedua telinga .

Begitu juga dengan para ulama fikih (Jumhur Al-Fuqaha) berpendapat bahwa tubuh wanita semuanya adalah aurat bagi laki-laki asing kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dikarenakan wanita perlu untuk berinteraksi dengan laki-laki .Adapun Imam Abu Hanifah dan pengikutnya bukan sekedar tidak menganggap wajah dan kedua telapak tangan (wajh wa kaffayn) sebagai aurat, tetapi juga mereka menganggap telapak kaki (qadamayn) bukan termasuk aurat. Karena Allah Swt. melarang untuk menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang sudah tampak daripadanya .

Dalil-dalil yang mereka kemukakan diantaranya ialah:

A. Penafsiran pada Firman Allah Swt. di surat An-Nur ayat 31 :
Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Said Ibn Jubair, Ikrimah dan yang lainnya . Menurut Syaikh Al-Bani bahwa di sana ada kecermatan Ibnu Abbas dan pengikutnya dari Sahabat dan Para Ahli Tafsir di dalam menta`wilkan firman Allah tersebut .

B. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. tentang Asma` binti Abu Bakar. Rasulullah Saw. bersabda : “Wahai Asma, Seorang wanita yang sudah haidh itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini, Beliau sambil memegang wajah dan tapak tangannya .

C. Pendapat Para Ahli Fikih (fuqoha) bahwa Wajah Bukan termasuk Aurat Wanita:
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi (asing) yang merdeka kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki. Dan berkata Syaikh Ibn Khalaf Al-Baji dari Madzhab Maliki “Semua tubuh wanita adalah aurat kecuali wajahnya dan telapak tangannya . Ahmad ibn Hanbal sendiri, yang banyak dirujuk oleh Jumhur Salafi-Wahabi, mempunyai dua qaul (pendapat) terkait hukum wajah perempuan. Qaul pertama, menyatakan jika wajah adalah aurat. Sementara dalam qaul terakhir, Ibn Hanbal tidak menyatakan wajah sebagai aurat . Di dalam dua qaul ini, Penulis berpendapat hendaknya kita mengambil qaul Jumhur Ulama( pendapat para ulama).
Sebenarnya masih banyak dalil-dalil yang digunakan oleh kedua kelompok ini untuk menguatkan pendapat mereka, namun dikarenakan segala keterbatasan dari Penulis maupun waktu dan tempat, Penulis hanya bisa memaparkan dalil-dalil yang sering terdengar hangat di telinga kita.

E. Sebab-sebab Perbedaan di Kalangan Ulama.

Bahwa perbedaan pendapat disebabkan beberapa faktor yaitu :
1. Tidak adanya dalil yang kuat dan jelas di dalam Al-Quran maupun Hadist yang menjelaskan hukum dari masalah ini.
2. Banyaknya perbedaan pendapat Para Ahli Tafsir didalam memahami maksud dari ayat-ayat Al-Quran khususnya pada surat Al-Ahzab, dan surat An-Nur.
3. Masing-masing kelompok berusaha menggunakan dalil yang diambil dari kaidah-kaidah ushul, dan setiap kelompok mempunyai dalil yang berbeda.
4. Para Ulama berusaha mngaitkan masalah ini dengan hukum melihat kepada wanita dan menganggap bahwa keduanya mempunyai saling keterkaitan.
5. Perbedaan pendapat Para Mazhab Fikih di dalam menentukan apa saja yang boleh dinampakkan dan apa saja yang tidak boleh, akan tetapi masalah melihat kepada aurat wanita adalah masalah yang diperselisihkan di dalam buku-buku fikih.
6. Perbedaan fatwa-fatwa antara yang mewajibkan menutup wajah, dan yang
membolehkan meanampakkan wajah.

Melihat fenomena di atas Penulis merasa perlu menarik benang merah dan mengambil sikap. Di dalam masalah ini Penulis berada di kalangan kedua yang tidak mewajibkan niqab (cadar) melihat beberapa faktor diatas, dan dalil-dalil yang digunakan cukup kuat, akan tetapi lebih utama dan mulia apabila wanita mengenakan cadar, adapun mewajibkan suatu perkara harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syariat, tidak boleh mewajibkan suatu perkara yang Allah Swt. sendiri tidak mewajibkannya. Menurut pendapat penulis kedua pendapat itu tidaklah saling bertentangan, bahkan saling mendukung jika kita bisa mengolah dengan baik, dan menempatkan kedua pendapat di tempat yang layak dan baik, sesuai dengan keadaan manusia itu sendiri.

Kondisi tertentu yang memakai cadar itu sangat diperlukan, seperti halnya jikalau wanita mempunyai paras yang sangat cantik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa cadar itu tidak benar kecuali di dalam dua perkara yaitu: Cadar sudah menjadi adat penduduk itu sendiri, dan apabila seorang wanita tersebut sangat cantik, maka diperbolehkan baginya memakai cadar . Pada saat yang lain seorang wanita dituntut untuk membuka wajahnya seperti ketika ingin mengadakan akad nikah, atau berdakwah dilingkungan orang-orang yang awam, atau ketika ia memakai cadar ia dituduh sebagai teroris dan lain-lainnya.

F. Epilog

Setelah kita mempelajari pendapat para ulama dan dalil-dalil yang mereka gunakan. Kesimpulannya, Penulis cenderung untuk tidak mewajibkan cadar, dengan tetap menghargai pendapat yang mewajibkannya. Bahkan dalam kondisi tertentu, saya ikut menganjurkan seorang wanita untuk menggunakan cadar. Pendapat ini, menurut saya adalah pendapat yang moderat dan penengah diantara dua pendapat di atas. Pendapat ini sesuai dengan ruh syariat Islam yang moderat dan seimbang di dalam melihat setiap problematika yang dihadapi manusia ini. Syariat Islam diturunkan bukan untuk membuat susah manusia dan tidak pula membiarkan mereka bebas dan tidak terkontrol. Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang sependapat dengan Penulis dalam hal tidak mewajibkan cadar, misalnya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar’atil Muslimah fil-Kitab wa As-Sunnah, Syeikh Muhammad Gazhali dan mayoritas ulama Al-Azhar di Mesir, Maghribi (Maroko), Tunisia dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Adapun mereka yang bertentangan dengan pendapat ini mereka adalah Ulama-ulama Saudi salah satu tokohnya adalah Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Ulama Pakistan dan India salah stunya ialah al-Ustadz Abul A’la Al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab. Ulama masa kini yang juga Penulis kenamaan dari Suriah Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dan yang lain-lainnya.

Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk saling menyalahkan antara yang mewajibkan cadar dan yang tidak mewajibkan, akan tetapi yang paling terpenting sekarang adalah mengajak keluarga, saudara kita yang belum memakai jilbab, ataupun yang masih memakai pakain ketat dan tidak nyaman untuk dipandang, supaya mereka tidak dikelabui oleh gemerlapnya dunia. Apalagi pada Zaman sekarang pakaian wanita bukan saja “You Can See” akan tetapi beranjak menjadi “You Can Touch”. Na`udzu billahi tsumma na`udzu billahi min dzalik.
نفعنا الله بعلومه فى الد نيا والأخره والله أعلم بالصواب
G. Referensi

1. Al-quran dan terjemahannya.
2. Al- Albani, Muhammad Nashir Ad-dhin, Jilbab Al-mar`ah Al-muslimah fi Al-kitab Wa As-Sunnah, Maktabah Al-Ma`arif, Riyadh, Cet I, 2002 M.
3. AL-Muqaddam, Muhammad Ibn Ahmad Ismail, Adillatu Al-hijab Bahtsu Jami` lil Fadhaili al-Hijabi Wa Wujubihi wa ar-Radu `ala Man abaha As-sufur, Dar al-Khalafa Ap- rasyidin, Iskandaria, 2007 M
4. Yusuf, Ahmad Rabi` Ahmad, Al-mar`ah Al-muslimah Bayna Al-hijab wa Al-niqab, Al-manar 2003 M.
5. Darwis, DR. Hadi, Hijabu al-marati baina Al-adyan Wa al-`Ulmaniyyah, Cet I, 2005 M.
6. Al-Barazi, Muhammad Fuad, Hakadza hijabuka ayyatuha Al-Marah Al-Muslimah, Maktabah Imam Al-Bukhari, Ismailiyah, Cet II, 1991 M.
7. Jum`ah, DR. Ali, Fatawa Asriyyah, Dar As-Salam, Kairo, Cet I, 2005 M.
8. Jum`ah, DR. Ali, Al-Bayan Lima Yasyghal Al-Azdhan, Al-Muqattam, Kairo, 2005 M.
9. Al-Maududi, Abu Al-`ala, Al-hijab, Dar N ahd An-Nil.
10. Muhdlor, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Qamus Karabiyak Al-Ashry Araby-Indunisy, Cet.V, 1998 M.
11.Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Cet XXV,2002 M.
12. Thantawi, Muhammad Sayyid, Tafsir Al-Washit lil Qur`an Al-Adzhim, Dar As-Sa`adah.
13. Al-`Asmawi, Al-Mustasyar Muhammad Sa`id, Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadist, Al-Kitab Adzahab, 2002 M.
13. www.google.com
14. www.eramuslim.com.

0 komentar:


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Modern Home Designs